(Perbuatan) Mana yang (harus) dimaafkan ?

9 09 2010
Bagi masyarakat Indonesia, momen Idul Fitri adalah momen yang amat khusus, amat berharga, sebuah momen ruang dan waktu yang benar-benar diburu dengan energi mudik yang luar biasa besarnya. Ciri khas yang paling jelas menandai hari Idul Fitri adalah momen bermaaf-maafan.
Maaf, adalah sebuah ekspresi merelakan suatu situasi dan kondisi. Maaf menjadi penawar paling manjur dari sebuah situasi yang sebelumnya terasa “tertahankan”. Maaf adalah mantra sakti yang mampu menaklukkan hati dan perasaan. Maaf adalah karunia illahi yang berlaku universal, nyaris tidak terbelenggu batas ruang dan waktu juga keadaan. Maaf adalah “mesin waktu”, penghubung sempurna benak masa lalu, masa kini, dan masa datang. Maaf adalah katalisator paling ideal sebuah peradaban. Maaf adalah penghubung dua kutub keadaan.
Maaf menjadi bermakna manakala terjadi interaksi yang tulus, jujur, dan ikhlas, antara pihak pertama dan pihak kedua. Maaf juga bernilai. Pada umumnya orang akan menilai lebih tinggi pada pihak pertama yang mengucapkan kata maaf. Maaf hanya bisa berlaku antara pihak pertama dan pihak kedua, begitu linier, x=y. Kalaupun ada pihak-pihak lain yang “membonceng”, maka sesungguhnya mereka berada pada ruang pemahaman yang sama.
Di Indonesia, Idul Fitri menjadi satu-satunya momen ruang dan waktu yang “dianggap” paling tepat mengucapkan dan menunjukkan maaf. Saat Idul Fitri, kata maaf, berkembang menjadi budaya nasional yang berlaku temporer. Hari pertama hingga hari ke-tujuh dianggap masa-masa paling afdhol untuk meminta dan memberi maaf. Setelah itu, entah kenapa, “kekeramatan” kata maaf menurun kadarnya. Begitu besar dan dalamnya pengaruh maaf, hingga kadang orang mengartikan maaf sebagai sebuah bentuk pemakluman. Hal ini muncul saat kita melihat hal-hal yang ditahan selama bulan Ramadhan, kemudian dimunculkan di perayaan hari raya Idul Fitri.
Secara perbuatan, puasa adalah menahan makan & minum, berhubungan suami istri (bagi mereka yang sudah bersuami/beristri), dan hal-hal lain yang membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga magrib tiba. Sebulan penuh, jiwa, raga, hati, dan jiwa berlatih untuk tunduk pada aturan-aturan Allah. Suasana Indonesia yang mayoritas muslim, sangat membantu pengkondisian diri.
Saat hari raya tiba, sebagian orang berteriak gembira, karena tak ada lagi halangan untuk melakukan segala hal yang diharamkan di bulan puasa. Hari raya dianggap sebagai momen pembebasan.
Sebagian lainnya, meratapi detik-detik Ramadhan yang pasti berlalu, karena ruang dan waktu di luar jangkauan kekuasaan manusia. Mereka ini adalah orang-orang yang rindu dengan ketenangan jiwa saat Ramadhan. Mereka ini orang-orang yang mampu menikmati makna latihan beribadah raga (lapar, haus, dan syahwat), dan amat berharap Alloh menilainya sebagai sebuah “prestasi seorang hamba yang taat”. Walaupun hal ini sangat abstrak, namun beberapa orang mengakui sebuah sesi relaksasi jiwa yang “rasanya” seragam.
Kedua pihak ini merayakan lebaran dengan sikap yang berbeda. Kadar kegembiraan menikmati perayaan Idul Fitri terasa lebih meriah pada pihak pertama. Terasa sekali momen pembebasan itu. Tak saja makanan dan minuman yang diperlombakan, namun juga syahwat. Syahwat pamer mampu menjebol “penjara” kesabaran. Syahwat nafsu mampu menuntun pandangan mata ke ruang-ruang pertunjukan dangdut yang “membebaskan”. Syahwat “kedudukan” mampu membebaskan kesombongan publik. Orang-orang yang merasa punya kedudukan tinggi membuka open house dan menghitung panjangnya antrean pengunjung.
Suasana Ramadhan yang semula terasa sejuk dan nyaman, sontak berubah total. Pada hari itu juga jiwa-jiwa yang pernah “merasa” terpenjara, seperti menemukan ruang pembebas yang nyaris bebas nilai.
Sementara itu pihak kedua, bercucuran air mata saat mengerjakan sholat shubuh berjama’ah di hari pertama Idul Fitri. Mereka sadar benar, Ramadhan telah pergi, dan diliputi kerinduan, kekhawatiran, dan pertanyaan : ya Alloh, apakah Engkau masih akan pertemukan aku kembali dengan Ramadhan-Mu tahun depan ? Tidak pernah ada jawaban pasti. Mereka sadar benar, karena setiap jiwa mempunyai waktunya masing-masing. Kesadaran ini bisa jadi membawa kesedihan yang amat sangat. Kesadaran ini membawa mereka ke ruang muhasabah (introspeksi) secara otomatis. Mendadak jiwa-jiwa ini sibuk membuka kembali lembaran-lembaran kenangan Ramadhan yang baru saja berlalu. Mata mereka kembali berkaca-kaca. Ternyata masih ada kelalaian, ternyata masih ada ketidaksempurnaan, ternyata masih ada celah ketidak-ikhlasan, ternyata masih banyak yang seharusnya bisa dilakukan, namun tidak dilakukan, padahal Ramadhan telah berlalu. Padahal tidak tahu, apakah tahun depan masih diizinkan oleh Alloh untuk bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan ibadah Ramadhan yang baru saja berlalu.
Saat kedua belah pihak ini bertemu, maka sesuai budaya : mereka akan saling bersalaman dan memaafkan. Mendadak terjadi kebingungan batin di antara mereka. Di antara senyum manis yang basah oleh kata-kata “mohon maaf lahir batin”, pihak pertama membatin : mengapa mereka kelihatan tidak terlalu gembira ? Bukankah sekarang hari raya ? Sekarang (sudah) boleh melakukan hal-hal yang diharamkan selama Ramadhan ? Bahkan ada kesadaran dari pihak pertama, di mana mereka yakin bahwa pihak kedua jauh lebih baik kualitas ibadahnya, lantas apa yang menahan mereka dari kegembiraan seperti yang kami lakukan ?
Kebingungan batin juga menyelimuti pihak kedua. Batin mereka, bertanya-tanya : bagaimana mungkin latihan sebulan tidak menyembuhkan syahwat mereka ? Bagaimana mereka bisa kembali kepada kemaksiatan sebelum Ramadhan, padahal Allah telah melatih mereka, padahal Allah telah menjanjikan pahala puasa secara khusus ? Dan satu hal, pihak kedua sejujurnya cukup terganggu dengan cara perayaan ala pihak pertama. Mendadak kesedihan menjalari hati, ya Allah, apa yang harus aku maafkan ? Syiar Ramadhan-Mu nyaris terbakar habis oleh perayaan mereka. Kesedihan ini makin menjadi manakala mendadak mereka menyadari ada rasa “lebih baik” daripada pihak pertama. Bukankah ini kesombongan ?
Ya, Allah, Idul Fitri kali ini kami sungguh berdoa kepada-Mu, agar Engkau jaga hati-hati kami, agar Engkau lembutkan rasa hati ini, agar Engkau ingatkan kembali makna Ramadhan itu.
Ya Allah, tiada waktu yang sia-sia dari setiap kejab penciptaan-Mu, kumohon dengan sangat, jagalah Indonesia kami dari buruknya kesia-siaan yang sekiranya akan kami lakukan.
Ya Allah, bimbinglah hati-hati kami pada makna maaf yang Engkau ridhoi, Amiiiin ….
Selamat merayakan Idul Fitri dengan penuh kesabaran dan kesyukuran.
Mohon maaf lahir dan batin.

Aksi

Information

2 responses

20 02 2011
ros

pak update postingan dunk,^_^

9 04 2016
wildercain45440

hhhhhhhhhhhhhhhhhhhhheeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy Click http://s.intmainreturn0.com/people3091630

Tinggalkan komentar