Tulisan ini dibuat demi curahan hatiku, yang “prihatin” (bhs.Jawa : sedih), melihat bahwa sebagian besar anak/siswa dan orang tuanya entah sengaja atau tidak menyandarkan diri pada sekolah, hampir segala-galanya. Agak sedikit bisa dipahami bahwa sikap seperti itu muncul dari adanya harapan pada sekolah, yaitu bahwa sekolah dianggap sebagai agent of change, tentunya menuju ke kehidupan yang lebih baik. Namun benarkah demikian ? Atau selalu bisa seperti itu ?
Mari sedikit kita simak, hal-hal yang bisa diinderai oleh panca indera kita di sekolah dan di masyarakat. Anak sekolah masuk sekolah umumnya jam 07.00 pagi sampai jam 14.00 siang. Setelah itu, mestinya anak-anak tersebut pulang ke rumah orang tuanya masing-masing. Saya sampaikan “mestinya”, karena pada kenyataannya sebagian dari anak-anak tersebut tidak pulang tetapi nyangkut entah di mana, apalagi jika sekolahnya berada di kota atau dekat pasar atau tempat hiburan dan seterusnya. Bagaimana ini ?
Rendahnya kesadaran “bersama” (saya sebut bersama, karena di sini semua unsur pendidikan saling terkait, sekolah, masyarakat, pemerintah) akan proses menuju ke lebih baik menjadi sebab utama dari kemelesetan moral semacam ini. Coba kita lihat satu per satu dan keterkaitannya. Dari sisi pemerintah, sebagai pengelola pendidikan nasional dan daerah, pastinya berharap, bercita-cita, agar putra-putri bangsa mampu menjadi generasi penerus bangsa yang brilian dengan menelorkan kebijakan-kebijakan pendidikan nasional dan daerah untuk diterapkan di sekolah-sekolah. Sayangnya, kebijakan demi kebijakan yang disampaikan oleh pemerintah sering ditanggapi sinis oleh masyarakat. Kenapa ? Karena kenyataannya, dari beberapa kebijakan tersebut ada yang sengaja diselewengkan, entah dijadikan ladang bisnis, korupsi, dst. Kata-kata “sengaja” dan “diselewengkan” pantas disandingkan, karena saya yakin, dari “dalangnya”, tidak ada penyelewengan yang tidak disengaja. Kita lihat contohnya, UNAS, pastinya dirancang untuk meningkatkan mutu kelulusan. Apa jadinya jika UNAS sekarang menjadi komoditas politik lokal ? Menjadi sebab kecuranganan yang dilembagakan ? BSE, atau buku sekolah elektronik, maksudnya baik, yaitu penyediaan buku murah. Apa mau dikata, kalau ternyata untuk mendapatkan BSE membutuhkan modal yang luar biasa besar. Apa itu ? Koneksi internet, komputer, dan SDM yang mampu menangani dua hal tersebut. Ujung pertanyaannya adalah sekolah mana saja yang mampu mengimplementasikan BSE untuk siswanya ?
Sekarang kita lihat sisi sekolah. “Menurun” dari kebijakan pendidikan pemerintah, sudah semestinya kalau sekolah mengikutinya. Bentuknya ? Antara lain adalah keharusan pemakaian Kurikulum yang sudah dirumuskan dari “atas”. Pertanyaannya : apakah kurikulum tersebut benar2 applicable ?? Silabus yang disampaikan adalah kondisi minimal, artinya sekolah wajib mengikutinya, apalagi itu sifatnya nyaris seperti undang-undang. Efeknya ? Sekolah akan “mati-matian” mengikuti amanat kurikulum. Nyaris apapun resikonya. Mulai dari penyediaan alat dan peningkatan kualitas tenaga pengajar. Biaya ? Tentu saja dibutuhkan. Berapa yang disediakan pemerintah untuk ini ? Amanahkah pengelolanya ? Sampaikah pada sasarannya ? (siswa – masyarakat) Satu hal yang jelas kelihatan adalah banyaknya mata pelajaran yang harus “diuntal” (bhs Jw : dimakan) oleh guru dan siswa. Semua mata pelajaran ini akan berujung pada UAS dan UNAS, yang saat ini hampir menjadi Tuhan. Kenapa ? Karena dianggap bahwa lulus dari UNAS adalah segala-galanya.
Sekarang kita lihat sisi siswa – masyarakat (orang tua murid). Lulus adalah kata kunci akhir bagi siswa dan orang tuanya. Lulus dengan baik menjadi tataran berikutnya, yang mungkin tidak mudah dicapai. Dengan kata sakti peningkatan kualitas pendidikan demi UNAS, orang tua nyaris akan sendiko dawuh pada apapun permintaan sekolah. Ingat >>> hanya untuk 7 jam di sekolah. Mari kita bedah sedikit. Dari alokasi waktu 7 jam itu, kira-kira berapa jam yang efektif, artinya siswa benar2 merasakan perubahan karena pendidikan. Ini pertanyaan besar, karena rata-rata guru “hanya” menyampaikan materi pelajaran, tapi tidak pada masalah-masalah yang lebih krusial lainnya. Apa itu ? Tujuan pendidikan, kepercayaan diri, integritas, bahkan kadang-kadang ada guru yang menyampaikan kompetensi tertentu tapi tidak secara khusus/spesifik menyebutkan tujuan pembelajaran kompentensi itu pada siswa. Akibatnya mudah ditebak, siswa akan merasa bahwa sekolah ini hanya sekedar status semata, tidak ada beban pada mereka. Buktinya ? Bagaimana mungkin jam kosong lebih disukai daripada jika ada pelajaran ? Padahal jelas mereka membayar mahal untuk sekolah. Itu belum membicarakan masalah moral dan budi pekerti. Yang kadang justru makin rusak setelah si anak masuk sekolah. Ini ironis.. .. sungguh ironis. Kadang ada jawaban galau dari sekolah, bagaimana kita mau mengurus moral, nurani, dan budi pekerti ? wong jam pelajaran saja kadang kurang untuk memenuhi semua mata pelajaran dan kompetensi. Alangkah kasihan anak-anak dan orang tua ini ? Berapa banyak di antara mereka yang menyadari satu hal bahwa, tidak sepantasnya melepaskan anak sepenuhnya, menyandarkan pendidikan sepenuhnya, pada sekolah.
Ada baiknya, para orang tua selalu ingat bahwa anak adalah amanah yang harus dijaga dari segala cemaran, dari segala sisi. Fungsi kontrol sangat diharapkan. Apakah seorang anak SMA/SMK sudah bisa dibilang dewasa, dengan begitu banyaknya racun hedonisme di sekitar kita (media TV utamanya). Buktinya tidak. Begitu banyak kasus narkoba di sekolah, seks bebas, dst. Apakah orang tua dan anaknya juga sekolah tidak tahu akan hal ini ? (bahwa hal tersebut adalah jelek dan dilarang agama) Pasti tahu. Perlunya pertemuan rutin antara orang tua wali murid, siswa, dan guru-guru di sekolah, menjadi salah satu alternatif, untuk secara bersama-sama memahami bahwa pendidikan ini begitu penting, begitu beresiko, dan penuh pengorbanan. Tanpa adanya diskusi yang sehat dan rutin mengenai hal ini, bisa dipastikan, tujuan pendidikan itu tidak sepenuhnya bisa dicapai. Khususnya oleh mereka-mereka (para orang tua murid) yang kurang berpendidikan, kurang pengalaman, dst. Apakah sekolah sengaja atau tega memanfaatkan “kebutaan” masyarakat ? Hanya sekolah yang bisa menjawabnya.
Melihat kenyataan bahwa biaya sekolah selalu naik dari tahun ke tahun, membuktikan bahwa ada pemikiran bahwa sekolah adalah bisnis. Bagaimana nasib bangsa ini sepuluh tahun yang akan datang ? Dengan tanpa adanya perhatian pada pendidikan moral, nurani, dan budi pekerti, sepintar apapun hasil lulusannya, kita tidak akan pernah menang melawan serbuan asing. Kenapa ? Karena menurut kita, yang membikin orang sukses itu hanya otak pintar semata, dan nyaris sama sekali mengeluarkan norma-norma kehidupan dari pelajaran sehari-hari.
Oleh karenanya, Bapak Ibu semua, mari perhatikan lagi anak-anak kita, jangan terlalu percaya diri pada “ketahanan diri”. Ingat, deraan sosial budaya di luar rumah jauh lebih berbahaya daripada yang sebenarnya Anda khawatirkan. Bagi siswa, coba pikirkan sejenak, di Indonesia waktu belajar terbaik hanya 6 tahun (saat di sekolah menengah). Sadari diri, dengan kelakuan sehari-hari saya yang seperti ini, apakah saya mampu hidup di masa depan saya ? Sekarang lihat Indonesia sekitarmu … pengangguran luar biasa banyak… moral luar biasa rusak … Apa saya harus ikut rusak ? Ingat sekali rusak, itu akan tercatat dalam sejarah hidupmu. Dan dari sisi kejiwaan, tidak ada yang bisa menolong diri Anda selain Anda sendiri. Perkataan ya atau tidak pada suatu ajakan sesungguhnya berasal dari hati nurani. Jadi jangan sekali-kali membutakan hati nurani.
Komentar Terbaru