LKS = Lapak Khusus Sekolah ????

18 09 2008

LKS, saya sebut Lapak Khusus Sekolah, karena buku ajar ini umumnya dijual di sekolah-sekolah, targetnya tentu saja siswa, yang akan berujung ke orang tua siswa. Para pembaca mungkin ada yang bertanya, lapak itu apa ? Lapak adalah tempat dagangan, pajangan dagangan. Jadi buku LKS yang aslinya adalah Lembar Kerja Siswa (bener ya ?) adalah komoditas bisnis bagi guru.

Emang kenapa kalau jualan ? Nggak boleh ya ? Rasulullah saja memberikan contoh berdagang. He .. he .. kata saya bagaimana dengan dagangan yang lain, seperti ganja, narkoba, harga diri, martabat, atau bahkan akidah (naudzubillah) ? Khusus konteks LKS, ada satu sisi yang kelihatannya lebih menonjol daripada konteks fungsinya. Yaitu “penjualannya”. Saya sendiri tidak tahu, belum pernah melakukan riset, apakah LKS itu ada karena anjuran dari pemerintah ataukah hasil otak pintar para pebisnis ulung yang melihat peluang di dunia pendidikan. Dalam hal ini saya lebih berasumsi bahwa LKS adalah komoditas bisnis semata. Saya tentu tidak sepenuhnya memandang negatif keberadaan LKS. Harus diakui bahwa LKS akan sangat mambantu di kala guru kesulitan mendapatkan bahan ajar. Tapi konteks membantu ini, langsung berefek negatif, pada guru ybs. Apa itu ? Matinya kreatifitas belajar mengajar. Dengan isi LKS yang seperti itu, guru pun pasti akan tertuntun dan terpengaruh untuk mengikuti tiap instruksi dari LKS tersebut, tanpa perlu menelaahnya. Lantas apa gunanya kuliah kependidikan ? Di mana isi ilmu mengajarnya ? Saya berani mengatakan bahwa menyerahkan pembelajaran pada LKS berarti guru telah menyerahkan diri pada kemalasan dan kebodohan yang pasti akan mengikutinya. Dan efek buruk seperti ini seperti kanker, yang pelan tapi pasti akan menggerogoti kecerdasan, hingga pada akhirnya akan tumpul sama sekali. Guru yang semestinya memberikan bimbingan kepada siswa sesuai TIU dan TIK, sama sekali tidak melakukan analisa bahan ajar, apalagi disesuaikan beberapa kondisi setempat agar tujuan tadi tercapai. Guru sama sekali tidak risau, jikalau para siswanya hanya mampu membaca dan menulis, dan tanpa kemampuan analisis sama sekali, karena memang tidak pernah diajari untuk itu. Kan ada LKS ?????

Mari kita lihat sisi yang lebih parah lagi. Tiap edisi Kurikulum yang berisi silabus pembelajaran, mestinya ditelaah dulu secara komprehensif oleh sekolah, mana-mana dan apa-apa yang perlu disesuaikan atau ditambahkan agar sesuai dengan kondisi setempat. Konteks telaah ini kadang disalahgunakan dengan riset ke toko-toko buku atau tanya-tanya ke penerbit, apakah ada LKS yang sesuai ? Mestinya LKS hanya difungsikan menjadi penunjang, yang keberadaannya tidaklah menjadi keharusan.  Ini mah tidak … buku teks disimpan di perpustakaan, dan LKS-lah yang wajib pakai. Alasannya rata-rata sama yaitu kemudahan.  Kalau ini dianggap belum parah, kadang ada sekolah yang mempaketkan sekian LKS sesuai mapel dalam kelompok wajib beli oleh para siswa. Atau kadang ada guru yang otak bisnisnya lebih maju daripada otak ndidiknya, justru mewajibkan muridnya untuk membeli LKS yang dibawa, dengan jumlah tertentu, untuk mengejar bonus dari perusahaan penerbit. Oke lah, masalah uang, siapa yang tidak butuh ? Tapi teganya hati seorang guru yang jelas-jelas tahu bahwa kehidupan sehari-hari orang tua murid-muridnya tidaklah semuanya berkecukupan tapi tetap disuruh membeli menjadikan guru ini benar-benar guru badak (maaf). Lantas keberkahan macam apa yang diharapkan dari bonus semacam itu ?

Ada baiknya orang tua wali murid/siswa untuk bersikap berani mempertanyakan hal-hal semacam ini. Terlebih jika setelah wajib beli dan pakai LKS, tetap saja si anak/siswa tidak menunjukkan perbaikan kecerdasan, atau malah menjadi makin tumpul pikirannya karena si guru tidak mengajari apapun kecuali disuruh buka halaman sekian dan kerjakan sesuai perintah. Walah ….


Aksi

Information

Tinggalkan komentar